Saya pernah. Kalau lagi kalut malah jadi lumayan sering.
Biasanya, saya bertanya-tanya seperti ini dalam hati:
Kok
bisa jadi begini ya? Kok bisa-bisanya saya melakukan itu? Kenapa saya
sempat berpikir kalau itu nggak apa-apa? Otak saya ditaruh mana sih
waktu itu? Kok nggak dipakai???
Dilanjutkan dengan mengumpat sekedarnya.
Dan kemudian merasa bingung dengan apa yang sudah terjadi.
Lalu setelah terjadi berkali-kali, lahirlah kesimpulan yang semena-mena:
Ada satu sisi lain lagi di sini.
Satu bagian yang sepertinya sangat tidak puas dengan saya yang biasanya.
Bagian diri yang berpikir belakangan setelah bertindak.
Kemudian
menjadi saya yang nggak mau manut begitu saja ketika diatur-atur
seperti biasa. Saya yang maunya bebas melulu. Saya yang tidak keberatan
jadi orang gila. Saya yang bisa menikmati ketidakwajaran yang biasanya
dihindari.
Bagian diri saya yang bisa berpikir begini.
another part of me...?
Mungkin
sebuah sisi yang berbeda secara agak ekstrim dari biasanya. Tentang
lompatan-lompatan pemikiran, kelakuan-kelakuan terpendam,
rahasia-rahasia yang tidak terkatakan, atau semacamnya.
Sesuatu yang disadari ada tapi lebih sering ditiadakan secara kasat mata namun tetap eksis di belakang sini.
Sisi
lain dari diri, sisi yang dibagi dengan tidak merata pada beberapa
orang yang tersangkut secara sengaja dan tidak sengaja. Sisi yang
dibenci dan demi stabilitas lebih baik tidak diungkap. Sisi yang kadang
menguat dengan sendirinya dalam kesendirian yang menyenangkan.
Sepertinya,
saya terobsesi dengan ketidakjelasan hidup. Merasa senang berbincang
tentang hidup yang abstrak, tentang sesuatu yang tidak punya sekat
jelas, tentang sesuatu yang belum pasti atau mungkin tidak pernah pasti,
tentang utopia, tentang celah pemberontakan dalam keteraturan, atau
tentang sesuatu yang seperti itu.
Di
satu sisi saya ingin jadi orang biasa yang sama seperti orang-orang
biasa lainnya. Di sisi lain saya jenuh dengan stabilitas yang ada. Trouble addict, kata seorang kawan. Saya mungkin nggak akan bisa hidup tanpa masalah yang mengacaukan, begitu katanya.
Benar atau tidak saya nggak ambil pusing.
Inkonsisten.
Mungkin
saya seperti itu. Meledak-ledak, kemudian tenang. Mengharapkan
ketenangan, kemudian bosan dan membuat keributan. Berhati-hati agar tak
bermasalah dengan orang lain, kemudian gusar dan kembali bermain api.
Stabil dan tidak stabil sekaligus.
Ingin jadi orang baik dan dengan cepat menjadi tidak peduli pada aturan untuk jadi orang baik dalam sekali jalan.
Tidak tahu mau apa.
Mungkin masih tersesat dalam ketidakdewasaan.
Kadang saya berpikir seperti itu. Kadang juga lupa berpikir.
Tapi
kehidupan sosial tidak menerima kondisi seperti ini. Status sebagai
makhluk sosial mengharuskan saya memilih satu diantara dua yang
bertentangan.
Dan saya memilih karena saya tahu saya nggak bisa hidup sendirian.
Saya
memilih. Walau kadang akhirnya saya sering terpeleset jalan. Paling
tidak saya mencoba menstabilkan diri dengan yang namanya adaptasi.
Menyingkirkan ketidaknyamanan yang timbul dan menerimanya sebagai bagian
dari hidup yang “memang seperti ini”.
Kehidupan
sosial untuk saya seringkali adalah kehidupan yang melelahkan. Harus
begini dan begitu sesuai aturan. Ketersimpangan dari kondisi yang
“biasanya” atau perbedaan diri dengan teori yang ada akan melekatkan cap
gila. Itu yang saya terima dari lingkungan sosial.
Menjadi berbeda adalah biasa, tapi menjadi selalu berbeda adalah gila.
Sepertinya
saya orang yang punya kebutuhan tinggi untuk diterima, sekaligus punya
ketakutan tinggi tentang kondisi ditinggalkan. Menjadi ekstrim berarti
menarik diri dari kemungkinan penerimaan orang lain. Memilih keekstriman
berarti mengiyakan ketidakseimbangan, dan itu tidak boleh dipertahankan
jika ingin diterima. Entah dari mana saya belajar seperti ini.
Atau lebih tepat, merasa bahwa kenyataan memang seperti ini.
Saya
belajar bahwa untuk bisa diterima, saya tidak boleh meneriakkan semua
yang ada dalam kepala saya begitu saja. Saya harus memilih dan memilah
mengeluarkan apa untuk siapa dalam kondisi bagaimana dengan cara apa.
Kadang-kadang, ini membuat saya menjadi manusia yang sukanya cari aman.
Tidak mau ribut, dan lebih suka mengikuti maunya orang lain.
Dan
setelah sekian lama, kondisi ini membuat saya jadi manusia yang muak
pada dirinya sendiri yang seperti ini. Menjadi manusia menyedihkan yang
sempat rela kehilangan eksistensinya dalam diri sendiri demi membuat
orang lain senang dan menerima keberadaan diri.
Benar-benar kasihan.
Another
me? Itu cuma candaan, sebutan saya untuk sisi lain dari cerita diri ini
yang tidak banyak diketahui orang. Tidak keluarga, tidak teman-teman
dekat saya, tidak juga orang terdekat saya. Kadang orang lain yang tahu.
Orang lain yang benar-benar orang lain. Orang lain yang asing, yang
baru saya temui atau bahkan tidak saya kenal. Orang lain yang tidak
terkait secara langsung akan kebutuhan saya tentang penerimaan.
Saya masih seperti ini.
Berpikir
dengan melompat-lompat tanpa arahan jalur. Bertindak dengan frekuensi
lupa yang keluar batas toleransi. Bersikap semaunya. Memberontak pada
cap orang lain tentang diri yang kelihatan. Membantah tapi tidak
mengeluarkan bantahan. Bersembunyi di balik kesalahpahaman yang
disyukuri. Merasa bersalah karena menipu dengan sengaja dan tertawa
dalam tangis kemudian menangis dalam tawa.
Yang itu saya.
Yang ini juga saya.
Yang mana juga saya.
Tidak stabil. Tidak suka diprediksi.
Suka cari perhatian dengan cara kelewatan. Suka sok tahu tentang diri sendiri. Suka sok tahu juga tentang orang lain.
Menyebalkan. Senang menjadi menyebalkan. Mudah bosan. Mudah beralih dari kebosanan.
Begitulah.
Ini saya. Paling tidak saya tahu ini memang saya saat saya menulis ini.
Saya
pikir kebanyakan orang tahu kalau biasanya manusia tak hanya punya satu
sisi. Manusia punya sisi yang tak tampak oleh orang lain. Saya manusia.
Jadi saya punya sisi itu.
Dan
inilah potongan-potongan cerita dari sisi yang itu, yang berteriak
ingin keluar sebagai saya. Keluar di sini. Lewat kata-kata.
0 komentar:
Posting Komentar