Rabu, 26 Oktober 2011

Orang Serakah Tak Pernah Puas

Posted by penk syahid on 01.03

“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa haq dan kamu telah fasik.”
(QS Al-Ahqaaf [46] : 20)

Sahabat, siapapun pasti mengerti bahwa di dunia ini kita harus mencari kebahagiaan. Namun keberhasilan dalam memperolehnya tidak berarti kita harus mengorbankan kebenaran yang kita anut, bahkan menghalalkan segala cara. Manusia tidak boleh melanggar tapal batas moralitas dan taqwa demi meraih keuntungan material. Biasanya kecenderungan material timbul dari keserakahan yang tak terkendali. Orang serakah memang tak pernah puas dengan harta dunia, persis seperti api membakar semua bahan bakar yang diberikan. Ketahuilah, bila keserakahan telah menguasai diri kita, ia akan mengubah kehidupan sosial kita menjadi medan pertengkaran dan perpecahan sebagai ganti dari keadilan, keamanan, dan kedamaian. Secara alami dalam masyarakat semacam itu keseluruhan moral dan rohani tidak mendapat kesempatan.
Sebuah realita yang memprihatinkan, kebanyakan kita telah menjadi hamba perut yang hidupnya seakan hanya untuk makan dan mencari kesenangan dengan mengabaikan tuntutan Ilahi. Ketahuilah, perut adalah sumber penyakit dan malapetaka, sumber keinginan dan syahwat yang kemudian diikuti oleh syahwat seksual. Syahwat perut dan kemaluan adalah penyebab timbulnya cinta akan kedudukan dan harta. Bahkan syahwat perut menjadi sebab dikeluarkannya Nabi Adam dan Hawa dari kampung yang kekal (surga) ke kampung yang fana (dunia).
Orang yang cenderung menjadi hamba perutnya identik dengan kekikiran (bakhil). Hartanya tidak boleh susut sedikitpun, serba menghitung dan menjumlah miliknya. Setiap saat ia memeluk hartanya melebihi pelukannya terhadap istrinya. Kalau ia berpergian, hartanya berada di dalam kepalanya. Kalau ia tidur, hartanya ibarat bantal gulingnya. Apabila orang bertamu ke rumahnya, keningnya berkerut khawatir kalau yang datang meminta shadaqah kepadanya. Ia lebih suka berdiam diri di rumah dan jarang bergaul dengan masyarakatnya. Karena takut kebersamaannya akan mengeluarkan hartanya untuk macam-macam keperluan masyarakat. Ia suka kepada kemewahan dan suka juga pada kebakhilan. Itulah manusia yang menjadi hamba perutnya.
Itulah keserakahan yang tak pernah memberi kepuasan. Bermewah-mewah adalah sesuatu yang sangat disukai oleh hawa nafsu. Kemewahan apabila telah melampaui batas akan menimbulkan pemborosan. Pemborosan adalah cikal bakal kemiskinan dan kemelaratan. Sedangkan kemelaratan adalah bibit kekufuran. Bahkan kemaksiatan dilahirkan dari induk yang bernama kemewahan. Orang dapat membeli apa saja dengan uang, bahkan dapat membeli kemaksiatan dalam bentuk apapun. Sedikit sekali orang yang mau membeli kebaikan, kearifan dan keadilan melalui kemewahan.
Islam menentang hidup yang berlebihan sampai melampaui batas. Sebab malapetaka yang timbul akibat keserakahan, keangkaramurkaan dan rayuan harta yang melemahkan tidak saja menimpa dunia, tetapi juga di akhirat akan tetap mengancam. Bukalah lembaran Al-Qur’an yang mulia, di dalamnya ada sekelumit kisah suatu umat yang pernah tenggelam dalam keserakahan, kesenangan dan kekafiran. Oleh Allah, kaum seperti ini kemudian dihinakan dengan azab yang sangat pedih.
Mengapa banyak manusia serakah? Keserakahan timbul akibat rasa takut kehilangan sesuatu yang dimilikinya dan kecintaan terhadap dunia yang berlebihan. Imam Baqir pernah menasihati: “Perumpamaan orang serakah di dunia adalah ibarat ular sutra. Makin banyak sutra yang dijalinnya sekeliling dirinya, makin kecil kesehatannya untuk bertahan hidup hingga akhirnya ia lemas sendiri. Sahabat, memohonlah selalu kepada Allah, Dia-lah tempat kita berlindung dan memohon ampunan dari kejahatan diri dan buruknya perbuatan kita. Ketahuilah, bagi setiap orang yang berakal pasti memahami bahwa kehidupan yang materialistis tidak pernah menghadirkan kecukupan dalam pencariannya tentang dunia. Sebab meneguk harta dunia ibarat meminum air asin, semakin banyak menelannya semakin haus kita dibuatnya.
Ya Allah, Rabb pemberi segala kemuliaan. Hadirkanlah dalam hati kami sifat menerima segala apapun yang Engkau berikan. Tetapkanlah jiwa kami untuk selalu bersyukur atas apa yang Engkau karuniakan. Janganlah Engkau biarkan hati kami selalu condong kepada keduniaan.
Penulis : Ustadz Anwar Anshori Mahdum

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Search Site

 
  • Penayangan bulan lalu